Awal perkenalan umat manusia dengan radiasi pengion dimulai ketika Wilhelm C. Roentgen (1845 - 1923), fisikawan berkebangsaan Jerman, pada tahun 1895 menemukan sejenis sinar aneh yang selanjutnya diberi nama sinar-X. Selang satu tahun dari penemuan sinar-X tersebut, fisikawan Perancis Antonie Henry Becquerel menemukan unsur Uranium (U) yang dapat memancarkan radiasi secara spontan. Untuk selanjutnya bahan yang memiliki sifat seperti itu disebut bahan radioaktif.
Dua tahun kemudian, pasangan suami-istri ahli kimia berkebangsaan Perancis Marie Curie dan Piere Curie menemukan unsur Polonium (Po) dan Radium (Ra) yang memperlihatkan gejala yang sama seperti Uranium.
Beberapa efek merugikan yang muncul pada tubuh manusia karena terpapari sinar-X dan gamma dengan dosis berlebihan segera teramati tidak lama setelah penemuan kedua jenis radiasi tersebut. Marie Curie meninggal pada tahun 1934 akibat terserang oleh leukemia. Penyakit tersebut besar kemungkinan akibat paparan radiasi karena seringnya beliau berhubungan dengan bahan-bahan radioaktif. Meskipun demikian, upaya perlindungan terhadap bahaya radiasi pada saat itu belum mendapatkan perhatian yang serius.
Studi intensif efek radiasi terhadap jaringan tubuh manusia terus dilakukan oleh para ahli biologi radiasi (radiobiologi), hingga akhirnya secara pasti diketahui bahwa radiasi tersebut dapat menimbulkan kerusakan somatik berupa kerusakan sel-sel jaringan tubuh dan kerusakan genetik berupa mutasi sel-sel reproduksi. Dengan demikian manusiapun menyadari bahwa radiasi dapat memberikan ancaman terhadap kesehatan manusia yang perlu diwaspadai. Resiko kerusakan somatik dalam bentuk munculnya penyakit kanker dialami langsung oleh orang yang sel somatiknya terkena penyinaran. Sedang resiko dari kerusakan genetik tidak dialami oleh yang bersangkutan, melainkan keturunan orang tersebut mempunyai peluang untuk menderita cacat genetis.
Studi epidemilogi efek biologi dari radiasi pengion yang telah dilakukan melibatkan tidak kurang dari dua juta orang dewasa dan anak-anak. Studi tersebut dilakukan terhadap mereka baik yang menerima paparan radiasi dari alam di atas normal, para korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, para korban kecelakaan fasilitas nuklir (PLTN Chernobyl misalnya) termasuk mereka yang masih di dalam kandungan sewaktu terjadi kecelakaan, serta para pekerja radiasi dan penduduk di sekitar suatu instalasi nuklir.
Hormesis Radiasi
Data epidemilogi mengenai efek radiasi dosis rendah sebagai penyebab timbulnya kanker dan kerusakan genetik masih minim. Di lain pihak beberapa pakar biologi radiasi dapat menunjukkan bukti-bukti tentang adanya efek merangsang (stimulatif) akibat paparan radiasi dosis rendah yang disebut hormesis. Fenomena hormesis ini sebenarnya sudah lama dikenal dalam ilmu obat-obatan (farmakologi). Dalam hal ini hormesis mengandung pengertian bahwa suatu zat yang dalam jumlah banyak bersifat racun tetapi dalam jumlah sedikit bersifat sebagai perangsang kehidupan. Obat-obatan para prinsipnya tersebut dari bahan-bahan kimia yang bersifat racun bagi tubuh, namun dengan pengaturan dosis yang tepat, obat-obatan justru bermanfaat bagi tubuh. Bertitik tolak dari pengertian ini maka hormesis radiasi mengandung pengertian bahwa radiasi dosis rendah bersifat mampu memberikan efek yang menguntungkan bagi kehidupan.
Hipotesa tentang adanya hormesis radiasi muncul setelah dilakukan penelitian terhadap organisme ber-sel tunggal hingga tumbuh-tumbuhan dan binatang bersel banyak seperti serangga, ikan dan mamalia. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa paparan radiasi dosis rendah memberikan efek perbaikan terhadap binatang maupun tumbuhan percobaan dalam bentuk tingkat kesuburan, kesehatan, peningkatan umur rata-rata binatang percobaan, kemampuan penyembuhan luka, kerentanan terhadap penyakit. Ketahanan terhadap infeksi dan lain-lain.
Sementara data-data tentang adanya hormesis pada binatang percobaan cukup banyak, hormesis radiasi terutama bagi manusia hingga kini masih menjadi ajang perdebatan bagi para pakar biologi radiasi. Hal ini disebabkan belum lengkapnya data yang mendukung kesimpulan ke arah sana. Meskipun demikian, data-data epidemiologi yang telah terkumpul hingga saat ini cukup menunjukkan bahwa hormesis dapat juga terjadi pada manusia. Data epidemiologi tersebut berupa data dari korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki dan penduduk yang tinggal pada daerah dengan radiasi latar alamiah lebih tinggi dibandingkan dengan radiasi latar alamiah normal, seperti penduduk di Propinsi Guangdong (RRC) dan Pantai Kerala (India).
Para korban bom atom di Hiroshima dan Nagasaki yang selamat hingga kini masih terus dipantau dan menjadi obyek penelitian oleh para ahli. Dari data yang dikumpulkan selama 24 tahun sejak tahun 1958 hingga 1982 menunjukkan bahwa sejumlah korban yang diperkirakan menerima radiasi dengan dosis antara 0,12 – 0,36 Sievert justru tercatat tingkat kematiannya akibat leukemia paling minim dibandingkan penduduk lain yang tidak menerima paparan radiasi pada saat terjadi ledakan bom atom.
Dari Cina juga dilaporkan status kesehatan lebih dari 20.000 penduduk di kota Yangjang, propinsi Guangdong. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa radiasi latar di daerah itu ternyata tiga kali lebih tinggi dibandingkan radiasi latar daerah-daerah lainnya. Data mengenai status kesehatan penduduk yang menempati daerah tersebut turun temurun dikumpulkan dari tahun 1972 – 1975 dan dibandingkan dengan status kesehatan penduduk daerah lain yang radiasi latar alamiahnya normal. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa frekwensi ditemukannya kanker ternyata lebih rendah pada penduduk di daerah radiasi latar tinggi dibandingkan dengan penduduk di daerah dengan radiasi latar rendah. Demikian halnya dengan data yang terkumpul dari Pantai Kerala di India. Lebih dari 130.000 penduduk tinggal di daerah ini dengan radiasi latar alamiah 3 hingga 10 kali di atas normal. Namun harapan hidup penduduk di Kerala ternyata 10 – 15 tahun lebih panjang dari pada harapan hidup rata-rata penduduk India. Dari beberapa data epidemiologi yang berhasil dikumpulkan inilah beberapa pakar radiobiologi menduga adanya hormesis radiasi pada manusia.
Dengan ditemukannya fenomena hormesis ini maka saat ini ada dua anggapan yang saling bertolak belakang tentang efek radiasi dosis rendah. Anggapan pertama mengatakan bahwa sekecil apapun dosis radiasi yang diterima tubuh dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan sel sehingga memberikan peluang timbulnya kanker maupun kerusakan genetik. Anggapan pertama ini tetap dipegang teguh oleh Komisi Internasional untuk Perlindungan Radiologi (ICRP). Bahkan data-data tentang adanya hormesis radiasi yang ditemukan oleh ICRP sendiri hanya dianggapan sebagai penyimpangan dan tidak pernah dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
Anggapan kedua mengatakan bahwa radiasi dosis rendah justru dapat memberikan efek yang menguntungkan bagi kehidupan. Anggapan ini didasarkan pada dugaan bahwa makhluk hidup mempunyai kemampuan untuk beradaptasi pada suatu lingkungan yang dosis radiasinya lebih tinggi dari radiasi latar alamiah. Paparan radiasi tersebut mampu merangsang fungsi-fungsi sel dalam mengurangi kerusakan akibat paparan radiasi berikutnya, jadi ada semacam proses imunisasi yang terjadi pada sel, dlam hal ini kerusakan sel akibat paparan radiasi akan diimbangi bukan hanya dalam bentuk perbaikan kembali sel yang rusak melainkan juga ketahanan sel terhadap kerusakan akibat paparan radiasi berikutnya.
Jika dugaan adanya efek hormesis dari paparan radiasi dosis rendah terhadap tubuh manusia benar adanya, maka penerimaan radiasi dosis rendah oleh tubuh manusia tidak perlu dicemaskan, misal dosis yang diterima karena seseorang bekerja dengan radiasi atau berada di medan radiasi. Hasil akhir dari paparan radiasi dosis rendah ini justru menguntungkan. Artinya, radiasi pengion ternyata tidak selalu menimbulkan efek biologi negatif bagi organisme. Namun untuk meyakinkan kebenaran fenomena hormesis itu masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan menyeluruh sehingga diperoleh data-data pendukung baru yang dapat memperkuat dugaan itu.
Sumber
0 komentar:
Posting Komentar